Oleh : Deny Kurniawan
(11111865) (3KA25)
PARADIGMA KEBUDAYAAN ISLAM
A. IDENTITAS BUKU
Judul Buku : Paradigma Kebudayaan Islam (Studi Kritis dan Refleksi Historis)
Pengarang : Faisal Ismail
Tahun Terbit : 1988
Kota/ Penerbit : Yogyakarta: Titian Ilahi Press
Jumlah Halaman : 202 halaman
B. SINOPSIS
BAG.1 (POTRET KEBUDAYAAN ISLAM DI INDONESIA)
Menurut W.S Rendra, keberadaan umat Islam di Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Tidak fungsional dalam artian sosok dan peran serta umat Islam dalam masyarakat sangat kecil.
2. Mengalami kemunduran dalam bidang budaya dan science
3. Cenderung tertutup terhadap kritik dan saran dari luar
Dalam bagian ini juga dijelaskan bahwa Fanatisme madzhab menjadi salah satu biang krisis bangsa. Fanatisme tersebut merupakan kelanjutan dari politik devide et impera pada
rezim penjajah. Tertutupnya suatu madzhab terhadap madzhab lain menjadi
pemicu pertikaian di antara mereka. Disamping masih terkungkung dalam
pemahaman fanatis, umat Islam juga kurang antusias terhadap
persoalan-persoalan kultural. Maka dapat dikatakan perhatian umat Islam
terhadap kebudayaan di Indonesia “nol besar”. Padahal Islam
adalah nilai esensi, isi, dan pemahaman yang harus memancar dan menjiwai
kreativitas dan produk budaya dan kebudayaan.
Aspek lain penyebab krisis budaya Islam adalah pandangan bahwa Islam hanya sebagai “Ibadat”
saja dalam pengertian sempit. Padahal lingkup Islam sangat luas
meliputi seluruh segi kehidupan baik dunia, akhirat, sosiokultural,
seni, ekonomi, politik, dsb.
Menghadapi
berbagai persoalan di atas maka harus diadakan strategi kebudayaan dan
pembaharuan pendidikan Islam. Ari Baswedan mengatakan dalam simposium
musium pendidikan Islam (Oktober 1980) bahwa pengembangan musium budaya
Islam harus diiringi dan ditunjang oleh kebudayaan. Pemikiran inilah
yang melatarbelakangi lahirnya “ strategi kebudayaan dalam menyongsong
pembaharuan pendidikan Islam”.
Mukti
Ali menyebutkan 3 kekurangan universitas Islam, yakni : kekurangan
dalam penguasaan bahasa, metode sistem setiap disiplin ilmu, dan
mentalitas keilmuan.
Menyikapi
hal ini, Pakar Perbandingan Agama menyatakan bahwa ada 6 hal pokok yang
harus diajarkan oleh Perguruan Tinggi Islam yakni : prinsip perubahan
masyarakat, menumbuhkan berpikir kritis dan jiwa optimisme, mengajarkan methode of approach (cara untuk memecahkan masalah), menanamkan disiplin intelektual, serta menumbuhkan budaya gemar membaca.
Gagasan Gazalba yang selalu ditorehkan dalam setiap karyanya adalah “agama dan kebudayaan adalah setingkat”. Ia juga berpendapat bahwa “ijtihad merupakan hukum sekularisasi Islam” akan tetapi gagasan Gazalba ini ditolak sebagian masyarakat sebab dipandang bertentangan dengan nilai-nilai Islam
Melihat
hal ini, maka perlu diadakan pembaharuan dalam studi keilmuan Islam di
universitas-universitas Islam sebab kualitas universitas Islam sangat
menentukan mutu pendidikan masa depan.
BAG. 2 KEBERIMANAN DAN KEBERSENIMANAN
Dalam
forum diskusi fakultas Adab dan Kebudayaan UIN Sunan Kalijaga,
diperoleh kesepakatan bahwa “ kesenian hendaknya harus dikaitkan dengan
agama agar tidak terlalu liberal”. Umat Islam di Indonesia miskin
akan kesenian. Hal ini disebabkan faktor-faktor diantara : kesenian
umat Islam berjalan secara tradisional, kurang kreatif, inovatif,
variatif, serta keinggalan dalam bobot kualitas. Kesenian memiliki subordinasi positif, dan negatif terhadap agama. Salah satu subordinasi
negatif adalah ketegangan antara nilai-nilai agama termasuk
hukum-hukumnya yang keras dengan nilai-nilai kesenian yang longgar.
Sementara subordinasi positif nya adalah dasar kuat untuk memperkembangkan kesenian karena kesenian selalu mengandung nilai-nilai.
Seorang
seniman mempunyai cara tersendiri untuk mengungkapkan imajinasinya atau
dalam mendekatkan diri kepada Tuhan. Seorang penyair misalnya
menunjukkan suatu pemberontakan akan belenggu jiwa dengan berimajinasi
seolah-olah melawan kehendak Tuhan. Atau seorang penyair melakukan cara
penghayatan intens sehingga terjadi “ manunggaling kawula Gusti” (bersatunya hamba dan Tuhan dalam realitas tunggal. Dalam hal ini penyair terkesan liberal, menuntut “kebebasan berimajinasi dalam mencipta”
Dalam
mengungkapkan imajinasi, seorang seniman terkadang mempersonifikasikan
sosok-sosok yang diagungkan dalam Islam. Misal, imajinasi Nabi Muhammad
SAW dalam cerita “Langit Makin Mendung (dalam novel Satanic Verses).
Tak jarang pula seorang penyair mengatakan bawa “penafsiran tentang
Tuhan tidak boleh dimonopoli”. Dan disambung dengan pernyataan “ saya
jangan ditanya, apakah saya ber-Tuhan atau tidak, itu urusan pribadi
saya.” Ungkapan penyair maksudnya adalah memberikan kejelasan bahwa
Tuhan yang dimaksud adalah Tuhan yang terdapat dalam “mind” atau pikirannya bukan bukan Tuhan yang hidup, bukan Tuhan yang menjadi sasaran kita dalam beribadat.
Menghadapi
kasus seperti di atas seseorang selain mengasah daya kreativitas
intuisi dan imajinasinya dalam berkarya, hal yang paling penting adalah
mendalami penghayatan dan pengamalan agama secara intens, sehingga
terdapat keseimbangan antara emosi dan akal, dalam artian terjadi
keselarasan antara kebersenimanan dan keberimanan.
BAG. 3 ( ISLAM, MODERNITAS, DAN MORALITAS)
Dunia
mode terus mengalami perubahan seiring perkembangan zaman. Mulai dari
mode jadul, pertengahan, hingga modern. Sebagai contoh mode pakaian,
yang dulunya hanya berorientasi untuk menutup aurat, kini menjadi media
promosi aurat. Dari yang dulunya berlengan panjang, memendek dan terus
memendek hingga tak berlengan. Budaya westernisasi ini semakin mewabah
terutama di kalangan remaja. Terlebih lagi dengan adanya kontes “ratu
kecantikan” yang menampilkan keseksian para wanita dengan kostumnya yang
vulgar. Sebagian orang berpendapat bahwa hal tersebut bernilai estetik tinggi. Yang menjadi pertanyaan di sini adalah mengapa justru aurat yang dipertontonkan ? bukan soft skill atau kecerdasan intelektual saja?
Kasus di atas adalah penyebab degradasi moral yang sering disebut sebagai penyakit mental epidemik
yang menjangkiti para konsumennya. Islam memberikan kelonggaran bahkan
kebebasan dalam hal cipta-mencipta mode. Akan tetapi mode dapat dicipta
sesuai dengan keperluan, kebutuhan, situasi dan kondisi, namun harus
dalam batas-batas moral Islam.
Agama Islam juga
berfungsi sebagai alternatif terhadap berbagai permasalahan sosial
budaya. Sebagai contoh, di Amerika Serikat terdapat sekelompok anak
jalanan yang menamakan diri mereka “The Flower Children” yang menginginkan kedamaian dan perlindungan di dunia. Di samping itu juga terdapat seorang wisudawan dengan nilai cumlaude merobek
ijazahnya sebab merasa bahwa ilmu yang selama ini ia dapatkan tidak
mampu menjawab persoalan-persoalan yang ia hadapi. Ia merasa di tengah
majunya iptek di negaranya belum cukup untuk membebaskan negaranya dari
perang dan mengisi jiwanya yang kering akan pengetahuan spiritual.
Permissive society
merupakan produk sekularisme, suatu faham yang mengabaikan, melepaskan
dan menanggalkan norma-norma agama, nilai moral dan agama. Mereka tidak
mengakui “absolute standard of behaviour” sehingga terjadilah moral chaos (kekacauan moral) dan lebih jauh lagi membawa mereka kepada keadaan “lawless society” (masyarakat tanpa hukum). Sebagai contoh, di AS, pada tahun 1969 diperkirakan 400.000 kelahiran tidak syah sebab
berasal dari seks bebas, hubungan gelap, dsb. Dalam hal ini agama
berfungsi ntuk mengatur, membimbing hidup dan kehidupan manusia. Islam
telah membuat garis demarkasi antara “ yang ma’ruf dan yang munkar, yang
halal dan haram, dsb”. Maka jelaslah bahwa permissive society sangat bertentangan dengan Islam.
Perbedaan mendasar antara moralitas Islam dan moralitas baru adalah: Moralitas Islam
merupakan standar dan ukuran baik dan buruk yang telah ditetapkan Islam
sejak kurun Muhammad SAW yang berlaku hingga sekarang bahkan sepanjang
masa. Misal, perzinaan dilarang, berarti untuk selamanya dilarang. Moralitas baru merupakan sistem yang berkembang dalam budaya masyarakat
Barat dan tidak didasarkan pada kepercayaan tentang Tuhan dan akhirat.
Misal, budaya permissivme, beberapa citra kehidupan seksual seperti lesbianisme, incest, masochisme, dsb.
Menurut Kuntcoroningrat, modernisasi merupakan suatu usaha sadar yang dilakukan suatu bangsa atau negara untuk “menyesuaikan diri” dengan konstelasi
dunia pada suatu kurun tertentu di mana bangsa tersebut hidup.
Sedangkan westernisasi adalah meniru dan mengadaptasi gaya hidup Barat,
meniru-niru dan mengambil alih cara hidup Barat. Keduanya sering
mengalami kekacauan makna sehingga diperlukan pemahaman khusus terhadap
keduanya. Penerapan modernisasi yang salah dilakukan oleh negara Turki
dan Iran. Pada tahun 1924, Mustafa Kemal Pasha, perdana menteri Turki
mengadakan pembangunan dengan menerapkan konsep-konsep Barat. Ia
mengganti hukum Islam dengan sistem hukum Swiss. Hakim-hakim dilucuti
dan dilebur dalam peradilan sekuler. Sementara Iran pada rezim M. Reza
Pahlevi mengadakan praktik modernisasi besar-besaran yakni menciptakan
perbaikan-perbaikan sosial ekonomi secara selektif.
Manusia modern merupakan manusia yang bercirikan sebagai berikut :
a. Siap sedia mengambil pelajaran baru dan terbuka untuk pembaharuan, invasi, dan perubahan.
b. Mampu menganalisis permasalahan sampai ke akarnya.
c. Bersikap demokratis.
d. Berorientasi ke masa sekarang dan masa depan.
e. Terencana dan terorganisasi
f. Memiliki optimisme tinggi bahwa dunia ini dapat diperhitungkan, dan orang-orang di sekitarnya dapat diandalkan
g. Respek terhadap martabat orang lain
h. Percaya pada iptek sebagai secara teoritis dan praktis
i. Percaya pada keadilan terbagi (distributive justice) dalam artian bahwa pahala sesuai dengan kerja keras.
BAG. 4 ISLAM DAN KEBUDAYAAN GLOBAL
Pada
masa daulah Umayah hingga Abbasiyah Islam mengalami masa kejayaan. Hal
tersebut dibuktikan dengan beberapa peninggalan baik yang berupa fisik,
(misal masjid Cordova, Masjid Agung Al-Hamra, perpustakaan Baitul Hikmah
dsb) maupun peninggalan dalam bidang keilmuan, seperti Ibnu Sina
(kedokteran), Khawaritsmi (matematika), Al-Hakam (bidang ilmu pengetauan
dan kesusasteraan), Ibnu Rusyd, dsb.
Pada
abad 8-13 Masehi, Islam berada di atas panggung kejayaan dan kebudayaan
dunia. Menurut catatan Hitti, seorang sarjana Libanon, Umat Islam telah
berjasa dalam menyeberangkan “warisan kebudayaan klasik Yunani kepada
Eropa (munculnya Aristoteles, Plato, Galenus, dll)” serta mengantarkan bangsa Eropa menyambut abad Renaissance. Salah satu sumbangan terbesar umat Islam adalah menterjemahkan
karya-karya Yunani dengan bahasa Arab, dan sebaliknya bangsa Eropa
menterjemahkan karya-karya Islam ke bahasa Yunani.
Akan
tetapi, dewasa ini umat Islam menalami suatu krisis yang berkepanjangan
sebagaimana diungkapkan Mukti Ali :”Krisis dunia dan ancaman yang
mengancam umat manusia adalah krisis rohani dan kekosongan moral”.
Apabila di zaman 8-13 umat Islam berada di puncak keemasan, maka di era
modern ini umat Islam berada di abad “kecemasan”. Siklus industrialisme,
hedonisme, dan materialisme memberikan gambaran bahwa manusia saat ini
kembali ke masa jahiliyah. Budaya-budaya yang ada saat ini tidak
mencerminkan kekhasan Islam namun justru bernilai pola masyarakat Barat.
Suatu alternatif peradaban telah diramalkan oleh F.C.S Northop bahwa peradaban yang akan datang adalah “persenyawaan yang selaras dari estetik teoritik. (integral as harmonius of the aesthetic-theoritic) yakni peradaban yang bertumpu pada suatu sistem super keagamaan ideal.
Dinamika kebudayaan Islam akan terus mewarnai dunia. Organisasi-organisasi Islam Internasional seperti World
Muslim Congres (Karachi),Rabithah All-Islamy (World Muslim League di
Mekah) A’la al ‘Alamy Lil-Masaajid (Dewan Masjid sedunia) memperluas penyebaran ajaran Islam melalui brosur-brosur taraf Internasional. Sementara itu, di London juga diadakan Festival Dunia Islam yang
berisi pameran hasil-hasil pemikiran keagamaan, kesenia, literatur,
arsitektur, musik, dan karya-karya umat Islam yang lain.
Menghadapi
realita ini, Charles J. Adams seorang guru besar dari McGill University
mengatakan bahwa “Tercapainya kemerdekaan politik dan berkembangnya
kesadaran nasional di kalangan umat Islam disertai satu renaissance kebudayaan.”
Toynbee mengatakan pula bahwa Islam harus tampil untuk menolong
peradaban dunia dan menolong seluruh dunisa kemanusiaan karena misi
utama Islam sebagaimana diungkapkan Al-Qur’an adalah memberi rahmat bagi
seluruh ummat manusia.